Oct 9, 2013

9

Aku ingat masa kecilku. Ketika aku pandai melukis mimpi diatas kanvas angan-angan yang masih putih bersih. Ditemani dengan kuas mungil yang kupegang dengan tangan kecilku. Aku menorehkan warna-warni penuh mimpi yang membubung tinggi. Bersama siratan doa yang selalu kurapal agar kelak aku bisa bahagia, layaknya dongeng-dongeng yang sering kubaca.

Kuas ku pun terus berlari diatas kanvas yang kini telah terisi berbagai gambar atas mimpi-mimpi. Aku masih belum lelah merangkai angan-angan ku. Namun ada satu hal yang sempat kuacuhkan. Waktu. Waktu pun sama sepertiku, tak pernah lelah berlari. Bahkan berlari lebih cepat dari yang kukira.

Hingga akhirnya, sebuah garis hitam tak sengaja menodai kanvasku. Lantas kucoba hapus dengan berbagai warna, namun garis hitam itu tak juga hilang meski telah tersamar. Selalu ada saja, orang-orang yang menyadari bekas garis hitam itu. Tanpa peduli bagaimana caraku untuk menghapusnya. Lalu, terus-menerus, ada lagi garis hitam lain yang tertorehkan. Sampai aku pun terduduk lemas, lelah. Kesadaran seakan menohokku keras-keras. Kanvasku begitu kotor dan tak lagi terlihat indah. Ada banyak warna kelam disana. Membuatku tak lagi berani menengok kanvas milikku sendiri.

Lantas meninggalkannya. Jauh ke belakang.